Teman itu 'Simbiosis Mutualisme' bukan 'Simbiosis Parasitisme'

 

(https://www.google.com/search?q)


                Pada hakikatnya di samping sebagai makhluk individu, manusia juga dikategorikan ke dalam makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentu dalam hal ini manusia tidak dapat hidup seorang diri atau mengisolasi diri. Artinya, dalam setiap upaya untuk menjalani kehidupannya selalu melibatkan hubungan dengan manusia lainnya. Seperti misalnya manusia membentuk sebuah lingkar pertemanan atau persahabatan, di dalam pertemanan tersebut manusia selalu melakukan hubungan timbal balik antara satu dengan yang lainnya. Melakukan kerja sama, berbagi ataupun hal yang lain, sehingga stabilitas serta keberlangsungan suatu pertemanan bisa bertahan dengan waktu yang relatif lama. Hal inilah yang menjadi dasar manusia dikategorikan sebagai makhluk sosial.

            Sebuah pertemanan mengisyaratkan sebuah hubungan antar manusia atau individu yang cenderung ‘saling’, baik itu saling mengerti, memahami, memberikan support dan lain sebagainya. Simbiosis Mutualisme bisa dikaitkan dengan seharusnya sebuah hubungan dalam lingkar pertemanan terjadi, di mana pola hubungan berada pada arus saling menguntungkan serta saling memberikan nilai positif diantara keduanya.  Walaupun pada kenyataannya dalam sebuah lingkar pertemanan tidak selalu terjadi demikian. Belakangan ini terdapat istilah yang sering dipakai oleh masyarakat umum untuk menggambarkan sebuah kondisi hubungan/pergaulan/pertemanan, seperti yang dikenal dengan toxic relationship atau toxic friendship. Meskipun mungkin diantara keduanya terdapat sedikit atau banyaknya perbedaan, yang jelas keduanya merupakan sebuah pola hubungan yang tidak wajar, tidak sehat dan cenderung merugikan salah satu pihak. Hubungan yang terjalin bisa dikatakan berada pada arus tidak terjadinya ‘timbal balik’.

            Pola hubungan yang toxic atau tidak sehat bisa terjadi di dalam hubungan apapun, tidak hanya dalam lingkar pertemanan. Entah itu dalam keluarga maupun dalam sebuah hubungan antara dua lawan jenis yang sedang terjebak dalam amuk asmara (pacaran). Tetapi saya tidak akan menceritakan hubungan asmara yang toxic, karena jujur saja tidak memiliki lawan jenis untuk menjalin hubungan tersebut, alias jomblo. Hubungan toxic (toxic relationship) yang pernah saya alami justru dalam sebuah lingkar pertemanan, atau istilahnya toxic friendship. Meskipun pada dasarnya tidak tahu apakah justru saya sendiri juga toxic atau tidak, cuman di sini saya akan sedikit berbagi mengenai hubungan pertemanan yang bagi saya tidak sehat yang pernah dialami.

            Sesuai penjelasan yang diambil dari Kompas.com, bahwa toxic friendship merupakan istilah yang mengacu pada teman yang tidak mendukung dan memberikan kontribusi positif untuk hidup kita. Tidak mendukung serta tidak memberikan konstribusi positif jika kita tarik bentuknya memang akan beragam, salah satu contohnya sebuah pertemanan yang tidak saling dan hanya mementingkan dirinya saja serta cenderung memanfaatkan diri kita. Bentuk pertemanan seperti itulah yang pernah saya alami. Walaupun pada awalnya saya menganggap pertemanan tersebut biasa saja, tidak ada yang patut dipermasalahkan. Tetapi semakin kesini tingkah dan perilaku teman saya malah berlebihan dan cenderung merugikan, datang ketika ada kepentingan atau kemauan dan selepas dari itu entah hilang kemana. Bahkan untuk memenuhi kepentingannya seolah memaksa diri saya tanpa mau mengerti kondisi seperti apa yang sedang saya alami, dan hal itu seringkali terulang.

            Merasa risih? Pasti, karena hubungan yang terjalin tidak seidealnya sebuah pertemanan berlangsung. Alhasil dari kejadian tersebut yang kerap kali berulang, saya memutuskan bagaimana caranya untuk menghindar dari salah satu teman yang tidak mungkin saya sebutkan namanya tersebut. Secara nurani memang saya merasa bersalah, tetapi demi kesehatan dan ketenangan pikiran meninggalkan adalah tindakan yang saya putuskan. Awalnya sebelum menghindar dan meninggalkannya, saya sempat beberapa kali mencari solusi untuk mengatasi kondisi buruk lingkar pertemanan tersebut. Salah satunya dengan melakukan obrolan kecil untuk memberikan penjelasan bahwa pertemanan tidak se-transaksional itu dan saya sedikit menceritakan bahwa tidak selamanya kondisi saya sanggup untuk membantu dan memenuhi keinginan serta kebutuhannya. Tetapi sialnya, tingkahnya tetap saja berulang.  Akhirnya berada pada hasil yang sama, yaitu memutuskan dengan perlahan untuk tidak lagi melakukan komunikasi dengan dia, baik secara maya maupun secara nyata.

            Dalam menghindari hubungan yang toxic, memang setiap individu pasti memiliki caranya tersendiri yang menurutnya benar. Tetapi upaya tersebutlah yang saya lakukan untuk menghindari hubungan yang toxic dalam pertemanan (toxic friendship). Dan sekarang saya merasa bersyukur bisa lepas dan tidak lagi merasa terganggu oleh pertemanan demikian. Dari kejadian tersebut, saya mendapat manfaat positif khususnya bagi diri saya sendiri untuk selalu berusaha mempertimbangkan apakah perilaku atau tindakan saya merugikan teman saya atau tidak. Karena saya tidak mau siapapun yang menjalin pertemanan dengan saya merasa dirinya berada pada lingkar pertemanan yang toxic seperti yang pernah saya alami. Selalu ‘ngaji’ diri, bisa jadi apa yang kita lakukan berdampak buruk bagi lingkungan pertemanan yang kita jalin. Ngaji diri melalui perenungan serta pertimbangan mengenai perilaku dan tindakan kita, nantinya akan mampu menciptakan suatu hubungan yang sehat dan tentu dapat saling memberikan manfaat positif di dalam pertemanan.

 

“Manusia adalah serigala bagi sesamanya..” – Plautus.





#NgabubuwriteWithPenulisGarut

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Kesaktian Menjadi Kesakitan

Kampung Pulo; Enam Rumah dalam Satu Pulau

Islam dan Perilaku Sosial