Kampung Pulo; Enam Rumah dalam Satu Pulau


            Kampung Pulo merupakan salah satu perkampungan yang berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut - Jawa Barat. Tepatnya berlokasi di sebuah pulau kecil objek wisata Situ Cangkuang. Sehingga hal ini tidak menyulitkan para pengunjung yang ingin mengunjunginya untuk mencari tahu sejarah dan keunikan yang dimiliki oleh kampung Pulo itu sendiri.

            Berdasarkan literatur, kampung Pulo ini merupakan peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad pada abad ke-17 Masehi. Sebelumnya, Embah Arif Muhammad ini merupakan salah satu panglima perang Kerajaan Mataram yang diperintahkan oleh Sultan Agung untuk mengusir pasukan Belanda di Batavia. Namun, beliau mengalami kegagalan sehingga tidak diizinkan pulang ke kerajaan dan memutuskan untuk menetap di kampung Pulo.[1]

            Selain itu, menurut Abah Tatang selaku juru kunci kampung Pulo, Embah Arif Muhammad ini merupakan salah satu tokoh penyebar agama islam di Garut pada abad ke-17, khususnya di wilayah cangkuang. Sebelum beliau datang, masyarakat yang berada di sekitaran cangkuang ini menganut agama hindu. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa candi yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-8 Masehi, dan merupakan tempat peribadatan umat hindu pada masa itu.

 

Keunikan Kampung Pulo

            


            Kampung Pulo tidak seperti kampung pada umumnya, di mana di sana terdapat beberapa keunikan yang mungkin menimbulkan banyak tanya. Kampung Pulo sendiri hanya dihuni oleh 22 orang yang berasal dari 6 keluarga, itupun sudah termasuk orang tua dan anak-anak. Selain itu, di sana hanya terdapat tujuh bangunan pokok, tidak lebih dan tidak kurang.

            Ketujuh bangunan tersebut terdiri dari enam bangunan rumah dan satu mushola. Konon, hal ini erat kaitannya dengan tokoh Embah Arif Muhammad itu sendiri. Sebagaimana menurut Abah Tatang, ketujuh bangunan di kampung Pulo ini merupakan simbol dari tujuh anak Embah Arif Muhammad, yang mana beliau dikaruniai enam anak perempuan dan satu anak laki-laki. Enam perempuan disimbolkan dengan enam bangunan rumah, sementara satu laki-laki disimbolkan dengan satu mushola.

            Selain itu, di kampung Pulo hanya boleh diisi oleh enam keluarga yang berasal dari keturunan Embah Arif Muhammad, tidak diperbolehkan adanya pendatang baru untuk menetap dan tinggal di sana. Kemudian apabila ada anggoa keluarga yang menikah, maka sudah diharuskan mereka keluar dari kampung tersebut. Diperbolehkan kembali apabila ada salah satu keluarganya yang meninggal, dalam artian kembali untuk mengisi kekosongan.

            Posisi rumahnya pun sangat unik, di mana keenam bangunan rumah tersebut dibangun dengan posisi saling berhadap-hadapan. Tiga bangunan rumah sebelah kiri, sementara tiga bangunan lagi di sebelah kanan. Posisi tersebut bukan tanpa sebab, melainkan dibuat dengan dasar agar dapat saling melindungi satu sama lain.

 

Beberapa Larangan di Kampung Pulo

            Sebagaimana kampung adat pada umumnya, kampung Pulo pun memiliki berbagai macam larangan yang telah menjadi warisan secara turun temurun. Menurut Abah Tatang, kurang lebih terdapat lima larangan yang harus dijaga dan dipegang teguh oleh anggota masyarakat yang berada di sana. Kelima larangan ini juga dijadikan sebagai pengingat kelima rukun islam dalam agama islam.

1. Tidak Diperbolehkan Berziarah pada Hari Rabu

Hal ini disebabkan, masyarakat kampung Pulo menggunakan hari rabu untuk mengadakan acara pengajian dan memperdalam ilmu keagamaan. Sehingga, pada hari tersebut tidak boleh ada aktivitas lain selain aktivitas untuk pengajian sebagai upaya dalam memperdalam ilmu agama.

2. Tidak Boleh Menabuh/Memukul Gong Besar

Menurut Abah Tatang, larangan ini terkait dengan peristiwa meninggalnya anak laki-laki dari Embah Arif Muhammad. Konon, saat anak beliau akan dikhitan, sebelumnya dilakukan arak-arakan dengan diiringi oleh gamelan yang menggunakan gong besar. Tiba-tiba angin topan menyebabkan kekacauan sampai sang anak celaka dan akhirnya meninggal dunia. Setelah kejadian tersebut, memukul atau menabuh gong besar tidak diperbolehkan karena diyakini akan mendatangkan malapetaka/bencana.

3. Tidak Boleh Membangun Rumah dengan Atap Prisma

Larangan ini pun masih terkait dengan meninggalnya anak lelaki dari Embah Arif Muhammad. Berdasarkan cerita, setelah anak beliau cukup umur untuk dikhitan, maka dilakukanlah upacara khitanan dengan mengarak sang anak dalam sebuah tandu berbentuk prisma. Pada saat diarak, angin kencang menyebabkan upacara arak-arakan kacau dan mencelakai sang anak sampai meninggal dunia. Hal inilah yang juga menjadi dasar kenapa di kampung Pulo tidak diperbolehkan membuat atap rumah berbentuk prisma.

4. Tidak Boleh Berternak Binatang Besar Berkaki Empat

Masyarakat di sana, hanya diperbolehkan untuk berternak binatang kecil seperti halnya ayam atau yang lainnya. Tidak ada satu pun anggota masyarakat yang memelihara binatang besar berkaki empat, seperti kambing atau pun sapi. Konon, larangan tersebut bertujuan untuk mejaga kesucian dan kebersihan kampung Pulo dari gangguan serta kotoran hewan tersebut. Alasan lainnya, kampung Pulo ini berada di sebuah pulau kecil di tengah-tengah situ cangkuang yang akan menyulitkan bagi masyarakatnya apabila memelihara binatang besar berkaki empat.

5. Tidak Boleh Menambah Bangunan Pokok dan Kepala Keluarga

Larangan terakhir yang harus dipegang teguh oleh masyarakat adat Pulo ialah tidak diperbolehkan untuk menambah bangunan pokok yang sudah berada di sana, yaitu enam bangunan rumah dan satu mushola. Sebagaimana dikatakan Abah Tatang, ketujuh bangunan tersebut merupakan simbolisasi dari anak atau keturunan Embah Arif Muhammad. Kemudian, keenam bangunan rumah yang ada di sana merupakan simbol enam rukun iman dalam agama islam. Setiap rumah pun hanya boleh dihuni oleh satu kepala keluarga. Maka dari itu, apabila ada yang menikah, dengan terpaksa mereka harus keluar dari kampung tersebut.


Pesan Toleransi Beragama

            Di kampung Pulo, makam Embah Arif Muhammad berada tepat di samping Candi Cangkuang dengan Patung Arca Siwanya. Berdasarkan keterangan juru kunci, hal tersebut merupakan simbol dan pesan toleransi antar umat beragama, khususnya umat islam dan umat hindu.


            Dalam praktik keagamaan, di kampung Pulo tidak ada satu agama yang merasa terganggu atas ritual agama yang lain. Dalam artian, bagi penganut agama hindu tidak ada halangan untuk mereka melakukan peribadatan di Candi Cangkuang. Begitupun bagi penganut agama islam, tidak ada halangan untuk melakukan peribadatan di sana, baik berziarah maupun melakukan peribadatan yang lainnya. Pesan toleransi ini diperjelas oleh Abah Tatang yang mengatakan bahwa, sebagai umat manusia kita harus bisa saling menghargai perbedaan yang ada. Jangan sampai dengan adanya perbedaan, kita justru saling menyingkirkan satu sama lain.

 

Museum Naskah


            Di kampung Pulo, terdapat museum yang dibangun untuk menyimpan berbagai naskah peninggalan zaman dahulu yang masih menggunakan kertas tradisional berbahan kulit kayu saeh atau yang biasa disebut dengan ‘dluwang’. Berdasarkan literatur, pada zaman dahulu dluwang memang merupakan salah satu sarana pendukung bagi penulisan naskah di beberapa wilayah nusantara/indonesia. Hal ini dikarenakan, lembaran yang dihasilkan memiliki kekuatan dan ketahanan dalam jangka waktu yang lama.[2]

            Museum Candi Cangkuang, kurang lebihnya memiliki sekitar 18 naskah lama yang menjadi koleksi. Berbagai naskah yang tersedia itu merupakan naskah islam yang mana isinya membahas ilmu-ilmu dasar dalam agama islam. Seperti tauhid, fiqih, doa-doa, khotbah dan juga al-Qur’an dengan terjemahan berbahasa jawa. Berdasarkan referensi, Zaki Munawar selaku pengelola museum mengatakan bahwa, penyalin Al-Quran dengan terjemahan bebahasa jawa tersebut adalah Embah Arif Muhammad sendiri selaku tokoh penyebar agama islam di sana.[3]


            Itulah sekilas tentang sejarah dan keunikan yang dimiliki oleh Kampung Adat Pulo. Tentu, di samping sedikit hal yang sudah dibahas, masih banyak lagi berbagai keunikan yang belum diketahui lebih dalam. Termasuk salah satunya tradisi dan kesenian yang masih terus dilaksanakan sebagai upaya pelestarian budaya yang dimiliki oleh masyarakat di sana.



[1] Sejarah Singkat Kampung Pulo, dalam Warisan Budaya Tak Benda Indonesia diakses 21 November 2023 dari <https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2544#:~:text=Keberadaan%20kampung%20Pulo%20Desa%20Cangkuang,Mengusir%20Pasukan%20Blanda%20di%20Batavia> 

[2] Kertas Daluang, dalam Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta diakses 21 November 2023 dari <https://kebudayaan.jogjakota.go.id/page/index/kertas-daluang#:~:text=Dluwang%20%2F%20dlancang%20merupakan%20sarana%20pendukung,pertapa%20atau%20kelengkapan%20upacara%20keagamaan>

[3] Syatri, Jonni. 2021. “Manuskrip Terjemahan Al-Qur’an Candi Cangkuang, Garut”. Lajnah.kemenag.go.id, 29 Desember 2021, dilihat 21 November 2023. <https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/manuskrip-terjemahan-al-qur-an-candi-cangkuang-garut>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Kesaktian Menjadi Kesakitan

Islam dan Perilaku Sosial