Tradisi berujung Tragedi||Myopinion
[A]kreditasi,
Murni atau M[A]nipulasi?
Sebuah kampus; swasta ataupun negeri pasti sangat
mengharapkan memiliki nilai yang sempurna, sebut saja predikat A. Penilaian tersebut
dilakukan dengan mekanisme yang sudah menjadi tradisi. Ya, akreditasi. Akreditasi
dilakukan secara berkala sebagai bahan pertimbangan atau analisa apakah kampus
tersebut memiliki sebuah kualitas yang unggul dan kompeten, mampu bersaing atau
tidak, dan kredibilitas lain yang mencerminkan sebagai kampus top ataukah
tidak. Entah apa yang menjadi landasan atau indikator sebuah kampus dapat
dinilai dengan deretan huruf; A, B, atau C.
Beberapa hari ke belakang, salah satu universitas di
bandung, kembali mendapat giliran untuk melaksanakan sebuah akreditasi. Hal itu
dikaitkan dengan peningkatan citra kampus di luar sana. Sayangnya, berdasarkan
analisa pribadi terkait akreditasi kemarin, saya merasa bangga sekaligus kecewa. Kenapa ada
rasa bangga sekaligus kecewa? Pertama, mungkin nilai A yang disandang kampus
itu adalah huruf istimewa yang didapat tidak dengan mudahnya; mungkin ini
sangat menggembirakan bagi para dosen dan mahasiswa yang berada di kampus
tersebut karena dari satu sisi, tentu kampus tersebut akan lebih diperhatikan
dan dipertimbangkan oleh pihak luar; entah perusahaan atau pemerintahan, saya
pun tidak menafikkan hal itu. Sedang kekecewaan saya, terletak pada saat prosesi
akreditasi tersebut berlangsung; saya merasa proses tersebut penuh dengan
manipulatif atau kepalsuan belaka.
Kita rasionalisasikan saja; jika yang menjadi
indikator sebuah kampus berpredikat A adalah fasilitas, lantas kenapa kampus
tersebut bisa menyandang predikat A? Padahal realitanya kondisi fasilitas yang
berada di kampus tersebut kurang memadai, misalnya saja berdasar hasil
wawancara dengan mahasiswa-mahasiswi kampus tersebut, fasilitas di ruang kuliah
saja masih terdapat beberapa inventaris yang tidak berfungsi (white board yang
rusak, kursi yang rusak, wc yang kurang nyaman atau bahkan mampet karena kurangnya
perawatan). Apakah masih memungkinkan dan pantas predikat A dicapai kampus
tersebut?
Nampaknya para birokrat atau pemangku kepentingan
yang berada di dalam kampus itu sangat mahir memainkan peran dan bahkan paham
betul rekayasa yang harus dibangun. Seperti yang terjadi menjelang hari H akreditasi,
beberapa lokasi yang sehari-harinya semrawut; dikemas serapi mungkin agar
terlihat demikian adanya. Mahasiswa dan tenaga pengajar juga staf yang biasanya
membawa kendaraan pribadi, dan mejeng di sekitaran kampus; mendadak dibatasi,
dialih lokasikan bahkan dilarang masuk kampus utama karena mungkin kampus
tersebut sedang cari muka. Hal-hal tersebut menurut saya sangat tidak wajar,
demi mendapatkan nilai yang memuaskan mereka melakukan manipulasi.
Terlebih jika dilihat dari etos kerja atau proses belajar-mengajar,
menurut saya sangat jauh peluangnya untuk pantas menyandang nilai A yang konon
katanya nilai tersebut sempurna. Kenapa? Karena masih banyak terjadi
penyimpangan ataupun kasus yang dalam hal ini pelakunya adalah tenaga pengajar
atau dalam hal ini dosen, dan tentunya sangat tidak heran jika mahasiswanya pun
meniru hal yang tidak patut dicontoh tersebut. Hadir di perkuliahan seenaknya,
mengajar sesuai hawa nafsunya; itu seakan sudah menjadi hal lumrah, mereka tidak mempertimbangkan akan seperti
apa output ataupun feedbacknya di kemudian hari. Kemudian terkait moral, masih
banyak kalangan dosen dan mahasiswa yang memiliki sikap berbenturan dengan
etika sosial/ moral sosial, yang salah satuya beberapa waktu lalu sempat
booming sampai media nasional. Bagaimana tidak? Kampus; yang notabene berisi
orang-orang akademisi yang paham betul dengan etika, norma dan bermoral baik
melakukan tindakan yang bahkan lebih keji dari kelakuan binatang.
Lantas seperti apakah indikator atau tolak ukur
kampus tersebut untuk bisa menyandang predikat atau akreditasi A? Saya rasa,
yang terjadi saat akreditasi tidak menutup kemungkinan layaknya yang terjadi
dalam hal-hal politik; seperti adanya mahar politik, kecenderungan asessor
terhadap kampus atau orang dalam kampus, dan lain-lain. Mungkin saja antara
kedua belah pihak melakukan ijab qobul untuk nantinya mengeluarkan sebuah huruf
berbentuk segitiga yang sangat di damba-damba.
Mengapa hal tersebut perlu sedikit dikritisi, karena
ini bukan berlaku sebatas hari ini saja, melainkan akan menjadi efek yang
panjang bagi kampus juga seluruh elemen di dalamnya. Misalnya dengan menyandang
nilai A tersebut, rating kampus akan naik, nantinya akan banyak calon mahasiswa
yang masuk kampus tersebut karena tertarik dan menaruh ekspektasi yang tinggi dengan
nilai yang disandangnya; padahal pada kenyataannya tidak seindah dan sesempurna
huruf itu, bahkan paradoks sekali-sangat menyedihkan. Ini berarti mungkin tidak
beda lagi antara kampus dengan tenpat wisata; suatu saat, layaknya tempat
wisata, kampus hanya untuk menarik pengunjung guna meningkatkan pemasukan kampus
tersebut. Tanpa kita tahu alokasi dananya mengalir kemana-entah infrastruktur,
fasilitas, ataukah dana berlibur?
Harapan saya, untuk aturan main tradisi akreditasi
ini seharusnya diperketat kembali agar proses tersebut sesuai dengan keadaan sehari-hari
suatu kampus. Tidak ada lagi kabar mengenai manipulasi atau rekayasa sosial,
demi sebuah huruf yang konotasinya baik atau tinggi. Tidak ada lagi kampus yang
mendadak bersih dan rapi jika asessor akan berkunjung. Meskipun tidak ada suatu
akreditasi, paham saya adalah semuanya tergantung dari bagaimana kualitas semua
elemen yang terdapat di dalamnya, bagaimana prosesi belajar-mengajarnya, karena
yang menentukan kualitas kita adalah kita sendiri bukan sebuah kampus yang
menyandang A, B, ataupun C. Kalaupun berpengaruh, itu lingkungannya bukan nama
atau bangunan kampusnya.
Dadan
Abdul Majid/ Mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Astri
Mumtahanah/ Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Komentar
Posting Komentar