MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH||Myopinion
GOLONGAN PUTIH: MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH
Dalam sebuah pilihan ada salah satu
kalimat yang menerangkan bahwa “Jika kedua pilihan sama-sama baik, maka
pilihlah yang paling baik. Jika pilihannya terdiri dari yang baik dan yang
buruk, maka pilihlah yang baik. Jika pilihannya sama-sama buruk, maka pilihlah
yang paling sedikit keburukannya”.
Menjelang pemilihan calon pemimpin
di Negara Indonesia, banyak kekhawatiran yang muncul kepermukaan. Salah satunya
perihal golongan putih (GOLPUT), mereka tidak mau memutuskan kepada siapa
suaranya akan berlabuh. Berdasarkan survei Lembaga Indikator Politik, angka
golput mencapai 1,1%, akan tetapi angka itu belum sepenuhnya utuh masih bias[1],
bisa jadi akan bertambah ataupun berkurang. Banyak yang mempermasalahkan terkait
persoalan golput ini, terkhusus bagi para pemangku kepentingan
(capres-cawapres).
Di samping hal itu, mengingat bahwa
Indonesia merupakan Negara demokrasi di mana kekuasaan berada di tangan rakyat
dan rakyat memiliki hak atas segala sesuatu, maka fenomena tersebut seakan
memiliki payung di bawah perlindungan demokrasi. Jika hal tersebut dibenarkan
adanya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUD atau Pasal 23 UU tentang HAM,
berarti memilih untuk tidak memilihpun adalah hak baginya dan ini bukan lagi persoalan
yang perlu dipermasalahkan.
Hal tersebut tentu saja akan memberi
dampak kepada pemilihan umum, bisa jadi pemilihan umum tidak lagi menyandang
predikat “pesta rakyat” karena kurangnya partisipasi dari masyarakat sendiri.
Dengan demikian, perlu suatu cara untuk tetap terus meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam segala sektor agar tidak terjadi kecacatan dalam demokrasi.
Dalam hal politik misalnya, perlu adanya sosialisasi mengenai hak suara dalam
pemilihan, kalaupun sudah terjadi ini perlu ditingkatkan kembali, apalagi
terhadap pemilih pemula yang notabene mereka kaum muda yang bisa dikatakan
apatis terhadap politik. Selain itu juga, para elit politik haruslah bijak dan
apik dalam melakukan kampanye ataupun menunjukkan diri serta identitas di khalayak
publik, karena nampaknya masyarakat semakin cerdas dalam melihat kontestasi di kancah
politik. Alangkah indahnya jika kampanye dijadikan momentum untuk berdialog
dengan rakyat -mendengar keluh kesah rakyat, permasalahan rakyat (meskipun
mungkin bising atau semrawut, tapi itulah proses dialogis supaya rakyat
memiliki keyakinan yang matang)- bukan hanya mengagung-agungkan program dan identitas
semata. Harus lebih disiapkan lagi, apalagi terkait partai politik yang
dianggap sebagai pembentuk calon-calon pemimpin. Banyak terjadi kasus yang
menjerat para elit politik seperti salah satunya tindak pidana korupsi, hal
tersebut mengakibatkan adanya stigma negatif terhadap partai politik itu
sendiri yang dianggap telah gagal membentuk dan menyiapkan kader untuk bangsa
dan Negara.
Nampaknya masyarakat mulai tidak
memiliki rasa kepercayaan baik itu kepada calon maupun parpol-parpol yang
menjadi pendorong mereka. Masyarakat mulai merasa geram dengan apa yang
dinamakan pemimpin, karena tak ubahnya dari seorang penguasa yang hanya
mementingkan diri sendiri dan sanak family, kawan sejawat dan kolega pejabat.
Berangkat dari hal seperti itulah keengganan masyarakat untuk menyerahkan
suaranya kepada seseorang yang dianggap dapat mengatur agar makmur, karena
penyerahan tersebut berada pada ambang kecemasan; apakah penyerahan suara
tersebut akan membawanya kepada kesehatan atau justru kesesatan?
Namun, besar pengaruhnya atau tidak,
pemilihan umum akan terus berjalan. Setidaknya ada 3 golongan menjelang
pemilihan umum tersebut, Pertama; mereka yang mengharapkan adanya perubahan
karena merasa jauh dari kebenaran dan keseimbangan. Kedua; mereka yang merasa
mantap dengan keadaan/situasi sekarang –menikmatinya bahkan mengagungkan sosok
yang terlibat dalam keberhasilan yang dianggapnya. Ketiga; mereka yang merasa
terhimpit diantara golongan keduanya dan merasa gagal pemahaman atas kedua
kelompok tersebut, sehingga mereka merasa kosong tidak ada hal yang perlu
dipertimbangkan.
Akan tetapi,
berkaitan dengan golput masyarakat haruslah melakukan pembenaran ulang. Karena
bagaimanapun berkaitan dengan penentuan seorang pemimpin harus berdasar pada
kehendak masyarakat. Artinya penentuan tersebut akan memiliki nilai substantif
dalam demokrasi, karena melibatkan partisipasi dari masyarakat. Jika hampir
semua masyarakat menjadi apatis terhadap politik, tidak dapat dibayangkan akan
menjadi seperti apa Negara Indonesia dengan sistem demokrasinya. Ketika satu
suara saja menentukan Indonesia selama lima tahun kedepan, lantas bagaimana
jika suara-suara kebaikan (katakanlah suara rakyat yang menginginkan Indonesia
mengalami kemajuan) itu tidak teralamatkan kepada sesosok yang dianggapnya
mampu mewakili rakyat?. Mungkin saja akhirnya negara ini dipimpin oleh
orang-orang yang telah disiapkan, yang di belakangnya berbagai
kepentingan-kepentingan siap membantu akan kemenangannya.
…”Life is Choice”…
Komentar
Posting Komentar