Batu Layang; Cerita dan Pesona Alam (Malangbong-Garut)

 


            Berlibur bisa dikatakan sebuah kebutuhan bagi setiap manusia dalam prosesnya menjalani kehidupan. Di sela-sela kesibukan apalagi ketika telah mencapai hari libur dalam pekerjaan, hampir setiap orang mengisinya dengan berpergian ke tempat-tempat tertentu yang menurutnya bisa mengobati segala lelah yang telah dilalui. Seperti yang saya lakukan, karena kebetulan telah memasuki hari libur dalam pekerjaan, saya dan teman-teman yang lain merencanakan untuk mengisinya dengan kegiatan berkemah (camping). Ya, berkemah adalah cara yang biasa kita lakukan untuk mengisi hari libur. Bagi saya, berkemah adalah salah satu cara merefresh segala persoalan yang bermukim dikepala. Udara sejuk dan irama kicauan burung yang dengan sopannya masuk ke telinga semakin memantapkan proses bercengkrama dengan alam untuk sejenak melupakan segala persoalan. Meskipun awalnya kita semua panik dan hampir membatalkan agendanya karena mendapat informasi adanya jadwal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dari pemerintah, dalam rangka memutus penyebaran virus Covid 19 yang dirasa kondisinya cukup memprihatinkan.

            Diberlakukannya PPKM ini mengakibatkan hampir semua objek wisata ditutup sementara dengan alasan agar menekan tingkat mobilitas masyarakat, termasuk beberapa objek tujuan awal yang akan kita tuju. Pada rencana awal, saya dan teman-teman yang lain ingin melakukan camp di Gunung Guntur dan akhirnya dibatalkan karena ditutup. Kemudian berencana ke Jamiaki, sebuah wisata perkemahan yang berada di daerah Ciamis dan akhirnya batal juga karena penutupan. Rencana terakhir saya dan teman-teman mengalihkan tujuan camp ke Buffalo Hills yang akhirnya batal juga karena selain mendapat informasi bahwa lokasi tersebut statusnya cagar alam dan tidak boleh menjadi tempat wisata, juga karena penutupan akibat terdampak PPKM dari pemerintah. Pemberlakuan PPKM ini, setidaknya membuat kita merasa sedikit kecewa. Berangkat dari kekecewaan tersebut, salah satu teman saya mengusulkan untuk tetap melaksanakan camping dengan catatan tempatnya yang sangat dekat dengan rumah. Puncak Batu Layang menjadi satu usulan yang diberikan, dan akhirnya kita berlimapun sepakat. Dari pada dibatalkan lebih baik mengikuti salah satu usulan karena semuanya telah kita persiapkan, dari mulai konsumsi sampai peralatan untuk camping itu sendiri. Setelah terlibat dalam obrolan yang cukup panjang, akhirnya kita semua melakukan packing dan bersiap-siap untuk berangkat pada hari Senin menuju rumah salah satu teman yang lokasinya dekat dengan jalur untuk menuju Batu Layang.

            Setelah tiba di rumahnya, kita langsung bergegas melakukan perjalanan menuju Puncak Batu Layang. Perjalanan dari bawah sampai ke atas yang kita lalui kurang lebih memakan waktu sekitar 3 Jam. Pada jalur pendakian, terlebih dahulu kita akan melewati beberapa perkampungan warga, diantaranya Kp. Sukamanah, Kp. Cienteng dan Kp. Pasir Jambu. Lewat perkampungan, kita dipaksa menapaki jalur dengan kemiringan yang cukup membuat lelah, tetapi hal itu sedikitnya dibayar oleh beberapa suguhan perkebunan masyarakat sekitar. Sampai pada lokasi tujuan, kita diberikan kejutan oleh bebatuan besar yang jumlahnya cukup banyak. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa lokasi tersebut diberi nama Puncak Batu Layang. Di atas bebatuan tersebut, kita bisa untuk sekedar menikmati kopi, merasakan sapaan angin dingin sambil melihat pemandangan ke arah malangbong dan sekitarnya. Keindahan akan lebih terasa ketika menjelang malam atau sore hari. Pemandangan matahari terbenam (sunset) dapat kita lihat secara jelas, lampu-lampu kota (city light) yang mulai menyala sedikit banyaknya bisa membayar rasa lelah selama menempuh perjalanan menuju puncak. Sangat cocok untuk menunaikan ibadah ngopi sembari terlibat obrolan sana-sini, hehe.

            Bertolak dari semuanya, di balik nama Batu Layang ternyata tersimpan sebuah cerita rakyat. Konon, di atas batu-batu yang menjulang cukup tinggi tersebut pernah dijadikan sebagai lokasi untuk memberi makan (ngangon) kuda Pegasus pada zaman dahulu. Ketika saya mendengarnya, jujur setengah tertawa. Karena apa yang diceritakan sangat mirip dengan kisah fiksi dalam berbagai buku atau dunia perfilman. Pertanyaan dalam kepala yang secara otomatis muncul, saya rasa tidak perlu menunggu jawaban dengan berbagai bukti yang akurat, karena memang hal itu merupakan cerita rakyat. Benar atau salah, percaya atau tidak, menurut saya cerita rakyat memang selalu unik –asik lagi menggelitik.

            Kemudian tidak jauh dari lokasi tempat kita mendirikan tenda, terdapat salah satu tempat yang memiliki nilai religi, masyarakat menyebutnya sebagai makam keramat. Menurut salah satu warga, makam tersebut merupakan makam atau petilasan dari Eyang Mangku Jampana. Meskipun saya baru pertama kali mendengarnya, jika merujuk salah satu artikel Eyang Mangku Jampana ini merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam menyiarkan agama islam di daerah malangbong pada abad ke 14 –sukamanah dan sekitarnya. (Kapernews; 2020). Pak Herman selaku warga kampung sukamanah memberi kesaksian bahwa makam tersebut sering dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah. Di tambah lagi menurutnya, ada 2 keunikan yang menyelimuti makam tersebut. Pertama, meskipun cuaca cukup cerah tetapi di area makam tidak jarang tiba-tiba turun hujan. Kedua, meskipun dikelilingi oleh pohon yang cukup rindang, makam tersebut selalu dalam keadaan bersih meskipun jarang dibersihkan oleh masyarakat sekitar. Kedua hal tersebutlah yang bagi Pak Herman selalu menjadi pertanyaan dalam dirinya. Wallahu a’lam..

            Terlepas dari semua cerita, setiap lokasi -atau bahasanya sebuah tempat pasti memiliki ceritanya tersendiri. Namun itulah segelintir cerita yang berada di malangbong, daerah kecil yang ternyata memiliki pesona alam yang cukup indah. Semoga tetap asri dan selalu menebar manfaat kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Mengutip salah satu lirik lagu dari Iwan fals, “Alam lestari, hidup tak akan pernah berhenti”.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Kesaktian Menjadi Kesakitan

Kampung Pulo; Enam Rumah dalam Satu Pulau

Islam dan Perilaku Sosial