Islam dan Perilaku Sosial

 

(Doc. Google)

            Di samping sebagai makhluk sosial, manusia juga dikatakan sebagai makhluk individual. Mengapa demikian? Sebab, manusia yang satu dengan manusia yang lain memiliki berbagai macam perbedaan serta keunikannya masing-masing. Dari mulai ciri fisik, cara pandang, kehendak, tujuan, cita-cita, hobi, dan tentu masih banyak lagi perbedaan yang lainnya. Hal itulah yang menjadi dasar mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk individual. Perbedaan tersebut selain menciptakan keberagaman, juga mengakibatkan manusia untuk saling bergantung satu sama lain sehingga terciptanya suatu hubungan sosial (social interaction).

            Meskipun manusia terlahir sebagai makhluk individu, tentu mereka tetap tidak bisa bersikap individualis. Sebuah sikap yang hanya mementingkan diri sendiri di atas kepentingan umum (kemaslahatan bersama). Seorang individualis, tidak akan memiliki kepekaan serta kepedulian terhadap keadaan atau lingkungan yang ada di sekelilingnya.

            Dalam konteks kenegaraan, sikap individualis ini sangat bertentangan dengan ideologi atau falsafah bangsa indonesia, yaitu pancasila. Mengapa? Sebab, pancasila merupakan ideologi yang menghendaki masyarakatnya untuk bahu membahu saling membantu dalam mencapai tujuan bersama. Bung Karno memandang bahwa, pancasila memiliki satu nilai dasar yang paling penting, yaitu gotong royong. Menurutnya, ketika pancasila diremas maka akan menghasilkan apa yang namanya trisila, dengan nilai yang terkandung di dalamnya ialah sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Kemudian ketika trisila itu diremas kembali, maka akan menghasilkan apa yang namanya ekasila, yang di dalamnya terkandung nilai dasar yaitu gotong royong.

            Gotong royong merupakan pola kehidupan di mana masyarakat atau warganya saling bahu membahu, bantu membantu untuk menciptakan sebuah keadaan yang sejahtera, aman dan nyaman sesuai dengan cita-cita bersama. Gotong royong menekankan pada rasa persaudaraan dan solidaritas lintas individu dalam masyarakat. Tentu sikap individualis tadi sangat bertolak belakang apabila kita mengamini apa yang diungkapkan oleh Bung Karno mengenai pancasilanya.

            Selain itu, islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat indonesia tentu tidak menganjurkan umatnya untuk memiliki sikap individualis. Sebagaimana dalam salah satu hadist, Rasulullah saw menjelaskan bahwa;

“Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

            Kemudian dalam hadist lain Rasulullah saw menjelaskan perumpamaan persaudaraan orang mukmin, yaitu;

“Orang mukmin yang satu dengan yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagiannya yang lain.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

 

            Dari kedua hadist tersebut, kita dapat memahami anjuran yang telah ditetapkan dalam ajaran agama islam. Kita dianjurkan untuk mencintai saudara kita sebagaimana mencintai diri sendiri. Apabila tidak, maka kita termasuk golongan orang-orang yang tidak sempurna keimanannya. Perwujudan cinta tersebut tidak lain adalah bagaimana kita memiliki kepekaan serta kepedulian terhadap sesama. Bahkan berdasarkan kisah, pada zaman Rasulullah ada seorang perempuan yang dipastikan masuk neraka meskipun rajin beribadah. Setelah diketahui, ternyata perempuan tersebut tidak memiliki hubungan yang baik dengan tetangganya.

            Dari kepekaan dan kepedulian ini, maka akan tercipta suatu ukhuwah atau persaudaraan di antara sesama. Persaudaraan tersebut akan melahirkan sebuah harmoni sosial, di mana satu manusia dengan manusia yang lain bahu membahu - bantu membantu untuk mencapai kebaikan yang dapat dirasakan bersama-sama. KH. Ahmad Siddiq sebagai salah satu tokoh NU, memperkenalkan tiga konsep persaudaraan atau ukhuwah yang harus kita jaga serta perjuangkan sebagai seorang muslim, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.[1]

            Ukhuwah islamiyah merupakan suatu persaudaraan antar sesama pemeluk agama islam, di mana pun. Persaudaraan ini harus kita jaga agar umat islam tidak mudah diadu domba hingga akhirnya dapat dengan mudah terpecah belah. Terkait perbedaan aliran, itu hal lain lagi. Sebab, dalam praktik ritual kita boleh berbeda, tapi outputnya sama beribadah untuk memenuhi perintah dan larangan Allah SWT.

            Ukhuwah wathaniyah merupakan persaudaraan yang didasarkan pada rasa kebangsaaan dan rasa cinta terhadap tanah air. Konsep ini menjadi dasar bagi masyarakat indonesia untuk menjalin persaudaraan yang erat, meskipun terdapat berbagai macam perbedaan. Melalui ukhuwah wathaniyah ini, harmoni sosial seluruh masyarakat indonesia tidak akan terbatas oleh suku, agama, maupun budaya.

            Ukhuwah Basyariah atau biasa juga disebut insaniyah merupakan persaudaraan yang konteksnya lebih luas, yaitu membicarakan masalah kemanusiaan. Persaudaraan ini dibangun dengan melepaskan semua atribut sosial, dan hanya menyisakan kemanusiaan. Siapapun itu, adalah saudara kita atas dasar kemanusiaan. Sehingga dengan adanya ukhuwah basyariyah ini, antar sesama manusia bisa saling memanusiakan satu sama lain. Hal tersebut sejalan dengan ungkapan Ali Bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa, jika dia bukan saudaramu dalam iman, maka dia saudaramu dalam kemanusiaan.

            Ketiga konsep persaudaraan di atas harus diinternalisasi oleh masyarakat, sehingga harmoni sosial dapat terwujud dan terjaga. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memupuk persaudaraan dan solidaritas antara sesamanya. Jangan sampai umat islam memiliki sikap yang hanya mementingkan diri sendiri, dan jauh dari kebermanfaatan terhadap sesama. Bukankah kita semua sudah mengetahui,  bahwa sebaik-baiknya manusia ialah manusia yang bermanfaat?

            Allah SWT., menciptakan perbedaan baik itu secara vertikal (stratifikasi sosial) maupun secara horizontal (diferensiasi sosial), tidak lain supaya terciptanya hubungan sosial yang baik. Berbicara stratifikasi sosial, dalam masyarakat dapat kita jumpai berbagai perbedaan yang sifatnya hierarkis atau vertikal. Seperti adanya kelas atas, kelas menengah, bahkan kelas bawah. Kelas-kelas tersebut nyata adanya, entah itu diukur berdasarkan keilmuan, pengaruh, maupun harta kekayaan.

Allah SWT., berfirman dalam QS. Az-Zukhruf ayat 32 yang artinya;

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

(QS. Az-Zukhruf: 32).

 

            Kemudian berbicara diferensiasi sosial, dalam masyarakat dapat kita temukan berbagai perbedaan yang justru sifatnya horizontal atau sama rata. Seperti misalnya perbedaan suku bangsa, ras, maupun kelompok sosial.

Allah SWT., berfirman dalam QS. Al-Hujarat: 13 yang artinya;

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

(QS. Al-Hujurat: 13).

 

            Dari kedua keterangan di atas, lagi-lagi islam membicarakan masalah perilaku sosial. Perbedaan bukan untuk saling menutup diri, tetapi saling mengenal dan memberi kebermanfaatan terhadap sesama. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang artinya;

“Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.”

(HR. Thabrani dan Daruquthni).

 

            Berdasarkan sedikit penjelasan di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa islam tidak hanya menekankan pada ibadah ritual saja, melainkan pada aspek sosial pula. Sebagai seorang muslim yang memegang ajarannya, tentu kita harus belajar bagaimana menyimbangkan antara hubungan dengan Tuhan (habluminallah) dan hubungan terhadap sesama (habluminannas). Meminjam ungkapan Gus Mus, kita sebagai seorang muslim harus bisa sholeh secara ritual dan sholeh secara sosial. Wallahu’alam.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Kesaktian Menjadi Kesakitan

Kampung Pulo; Enam Rumah dalam Satu Pulau