Cerita dari Kuta
Dok. Pribadi
Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu sangat berpengaruh bagi
kelangsungan hidup suatu masyarakat. Banyak sekali perubahan yang diakibatkan
oleh perkembangan hal tersebut, baik itu segi sosial, ekonomi, maupun budaya.
Namun, tidak sedikit pula masyarakat yang masih bertahan dengan berbagai
kebiasaan yang sudah menjadi warisan dari leluhurnya, salah satunya adalah
Kampung Adat Kuta.
Kampung Adat Kuta
berlokasi di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Dusun Kutasari, Desa Karangpaningal,
Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis. Kampung tersebut sangat menghormati dan
menjaga apa yang telah diwariskan oleh leluhurnya pada zaman dahulu. Mereka
masih memegang dan mempraktikan adat istiadat/tradisi yang dimiliki meskipun di
era pesatnya perkembangan zaman. Karena kental akan kearifan lokalnya, Kampung
Adat Kuta ini menjadi salah satu desa wisata yang berada di Kabupaten Ciamis.
Tidak sedikit orang yang pernah melakukan kunjungan serta melakukan sebuah penelitian
ke daerah tersebut. Bahkan ketika penulis berkunjung pun, tepatnya pada tanggal
5 Mei 2022, ada beberapa masyarakat luar yang sedang melakukan kunjungan.
Nama Kuta sendiri
merupakan serapan dari kata Mahkuta/Mahkota atau kepangkatan. Menurut tradisi
lisan, pada awalnya kampung tersebut merupakan tempat yang telah dipersiapkan
untuk pendirian Kerajaan Galuh pada masa Prabu Permadikusuma. Namun,
dikarenakan lokasi yang tidak strategis dan luas yang tidak memadai, akhirnya
pendirian Kerajaan Galuh tersebut dibatalkan dan dialihkan ke daerah lain. Meskipun
begitu, masyarakat adat kuta meyakini beberapa alat dan peninggalan bahan untuk
pendirian Kerajaan Galuh masih ada di daerah tersebut.
Selain dari penamaan dan asal usul sejarahnya yang cukup menarik, kampung adat tersebut masih sangat kuat akan tradisi dan budayanya, salah satunya adalah budaya “pamali”. Pamali merupakan suatu hal yang tabu atau tidak boleh dilanggar oleh anggota masyarakat. Pamali menjadi sebuah amanah bagi masyarakat agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang boleh dan mana yang tidak boleh untuk dilakukan. Boleh dikatakan bahwa Kampung Adat Kuta ini merupakan sebuah kampung yang memiliki beragam larangan. Hal ini tercermin dari cerita kebiasaan dan pola kehidupan masyarakatnya.
Hutan Keramat/Larangan
Hutan larangan merupakan kawasan yang sangat dijaga dan dilindungi
oleh masyarakat adat kuta. Masyarakat sangat tidak diperbolehkan untuk
mengambil atau memanfaatkan apapun yang berada di kawasan tersebut. Dalam
menjaganya, pamali memiliki peran yang sangat penting. Di mana
melaluinya, masyarakat diberi amanah agar bisa menjaga dan melestarikan hutan
tersebut. Siapapun yang melanggar maka hukum alam atau karma akan segera
menghampirinya. Sebagaimana Ki Warja mengatakan dalam analoginya, “Siapapun yang
memakan Cabai, maka dia akan merasakan pedasnya.”
Donny Iqbal, Mongabay Indonesia |
Selain daripada hutan larangan pun, masyarakat adat kuta tidak berani untuk mengeksploitasi alam. Justru mereka sangat menjaganya agar terjadi keseimbangan untuk keberlangsungan suatu kehidupan. Artinya, bagaimana manusia memberi kehidupan kepada alam, maka alam pun akan memberi kehidupan kepada manusia. Sehingga di sana, alamnya masih asri dan terawat dengan baik. Tidak salah pada tanggal 5 Juni tahun 2002 yang bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia, Kampung Adat Kuta dianugerahi Kalpataru oleh Presiden Republik Indonesia sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya menyelamatkan lingkungan.
Larangan
Membangun Rumah dari Tembok
Ketika berkunjung ke Kampung Adat
Kuta, kita tidak akan melihat satupun bangunan rumah yang terbuat dari tembok
atau rumah modern seperti di kota-kota besar. Semua rumah warga adat kuta
terbuat dari bahan dasar kayu dan bambu. Hal ini dikarenakan, Kampung Adat Kuta
melarang masyarakatnya untuk membangun rumah dari tembok. Pun dalam membangun
rumah, satu bidang tanah tidak boleh di isi lebih dari dua bangunan, dan dalam
prosesnya tidak boleh membangun rumah sembarangan atau di mana saja.
Selain bahan dasar yang harus dari
kayu dan bambu, bentuk rumahnya pun harus persegi panjang yang di dalamnya
terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan pertama sebagai dapur dan penyimpanan
beras, dan ruangan kedua sebagai kamar dan tempat menjamu tamu. Selain itu,
posisi tempat tidur harus sejajar dengan penyimpanan beras, sementara dapur harus
sejajar dengan ruang tamu.
Larangan ini telah diwariskan secara
turun temurun dan wajib dihormati oleh masyarakat. Barangsiapa yang
melanggarnya, maka dikhawatirkan akan mendapat sebuah bala atau musibah.
Percaya atau tidak, hal tersebut sudah dirasakan oleh masyarakat adat kuta.
Menurut Ki Warja selaku sesepuh adat kuta, konon pernah ada warga yang merasa
dirinya punya uang dan akhirnya membangun rumah dari tembok. Namun tidak lama
setelah rumah selesai, sang pemiliki rumah meninggal dunia. Kejadian tersebut
semakin menguatkan larangan yang dipegang oleh masyarakat kuta dalam prosesi
pembangunan rumah.
Larangan
Memakamkan Jenazah
Masyarakat
adat kuta tidak diperbolehkan untuk menggali tanah, baik itu untuk keperluan
air sumur maupun untuk pemakaman jenazah. Hal ini dikarenakan, masyarakat
meyakini bahwa tanah adat kuta merupakan tanah yang suci. Atas kepercayaan
tersebut, di sana kita tidak akan menemukan tempat pemakaman umum (TPU). Karena
ketika salah satu anggota masyarakatnya meninggal, mereka akan membawa dan
menguburkannya di daerah lain dengan jarak yang lumayan jauh.
Upacara
Adat dan Kesenian
Masyarakat
Kampung Adat Kuta memiliki beberapa upacara adat yang masih sering dilaksanakan
pada bulan shafar dalam kalender hijriah, yaitu Hajat Nyuguh dan Sedekah
Bumi. Hajat Nyuguh dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat di mana acara
puncaknya melakukan arak-arakan dengan membawa tandu yang telah berisikan
makanan hasil bumi. Kemudian diakhiri dengan doa bersama sebagai bentuk syukur
atas rezeki yang telah dilimpahkan.
Tradisi Nyuguh, Dadang Hermansyah, Detik.com |
Sementara sedekah bumi, masyarakat
adat kuta menyembelih hewan ternak lalu kemudian dikubur di area tertentu.
Setelah itu, masyarakat melakukan makan bersama di atas tanah dan tidak boleh
memakai kursi atau alas sebagai tempat untuk duduk. Kedua tradisi ini memiliki
makna tersendiri bagi masyarakat adat kuta. Di samping sebagai ajang
silaturahmi, tradisi tersebut bermakna sebagai bentuk syukur serta tolak bala.
Dalam pelaksanaannya, tradisi tersebut selalu diiringi oleh berbagai macam kesenian
yang ada di sana. Salah satunya adalah Gondang Buhun, Terbang, dan juga Rengkong.
Selain
beberapa hal di atas, masih banyak lagi keunikan yang berada di Kampung Adat
Kuta. Seperti masih kuatnya budaya gotong royong serta ramahnya warga
masyarakat dapat memberi pelajaran dan penyegaran kepada kita yang umumnya
hidup di tengah-tengah kecepatan dan ketatnya persaingan. Kita sebagai manusia
harus tetap memiliki rasa kebersamaan serta kerendahan diri terhadap sesama.
Sebab, manusia merupakan makhluk yang lemah yang tidak bisa memenuhi berbagai
macam kebutuhan hidupnya hanya dengan seorang diri.
Terlepas dari semuanya, setiap
kampung adat selalu memiliki konsep hidup yang sangat menarik untuk kita
pelajari. Bagaimana mereka mengintegrasikan hubungan antara Tuhan, Manusia dan
juga Alam. Cara pandang dan nilai hidup yang telah mereka sepakati membentuk
keseimbangan dan menciptakan harmoni kehidupan.
Komentar
Posting Komentar