Realitas Kehidupan Berkelompok
Seperti yang sudah
kita ketahui secara umum, dan bahkan sering menjadi sebuah bahasan utama bahwa
manusia merupakan makhluk sosial. Makhluk yang tidak dapat mencapai
kesempurnaan tanpa melibatkan orang lain dalam hidupnya. Konon,
setiap manusia memiliki dua hasrat atau kebutuhan pokok yang dibawa sejak lahir,
yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain dan keinginan untuk
menyatu dengan lingkungan alam di sekelilingnya. Benarkah demikian? Hal ini bisa
kita temukan jawabannya dengan melihat realitas kehidupan. Dalam hidup, setiap
individu selalu berusaha untuk membentuk kebersamaan dengan individu yang
lainnya. Mereka saling mengorganisasikan diri sehingga terbentuk apa yang
dinamakan dengan kelompok sosial.
Berbicara masalah
kelompok sosial, dalam kehidupan kita bisa melihat adanya berbagai macam kelompok
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Salah satu penyebabnya tentu
karena di samping sebagai makhluk sosial, manusia merupakan makhluk individual.
Artinya, manusia yang satu dengan manusia yang lain memiliki berbagai macam
perbedaan. Ciri fisik, kepribadian, kehendak, ide dan bahkan gagasan pun
berbeda. Sehingga masing-masing individu ini membentuk sebuah keberagaman dalam
realitas kehidupan.
Dalam kelompok
sosial, terdapat sejumlah individu yang hidup secara bersama dikarenakan adanya
kesamaan atau faktor pengikat di antara mereka, baik itu kepentingan, tujuan,
kehendak, gagasan, maupun hal yang lainnya. Berbagai kelompok sosial yang
hadir, turut mewarnai sebuah kehidupan. Mereka yang berbeda menjadi warna, dan
mereka yang mampu bersama di atas perbedaan tentu menjadi sebuah kekuatan yang
akan mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan.
Akan tetapi, hal
yang disayangkan ketika membicarakan sebuah kelompok sosial adalah adanya
sebuah pengkotak-kotakkan antara satu dengan yang lainnya. Tidak jarang,
kelompok yang satu sangat sulit untuk berbaur dengan kelompok yang lain. Etnosentrisme
menjadi salah satu penyebab hal tersebut bisa terjadi. Menganggap
kelompoknya yang paling baik dan paling tinggi, sehingga cenderung ekslusif
terhadap kelompok yang lain.
Di samping etnosentrisme,
kecenderungan partikularisme kelompok pun sangat tinggi. Partikularisme
sendiri merupakan paham yang cenderung memunculkan suatu sikap di mana sebuah
anggota atau sebuah kelompok hanya mementingkan dirinya atau bahkan kelomponya
sendiri di bandingkan kepentingan umum atau publik. Berkaitan dengan hal ini,
cukup banyak fenomena di mana setiap kelompok hanya memikirkan kelompoknya
sendiri, atau dalam bahasa sederhananya merupakan sebuah keberpihakan.
Tidak jarang,
dengan alasan kesamaan warna sebagian orang mendapatkan perlakuan secara baik
dibanding sebagiannya lagi yang memiliki warna berbeda. Mereka yang satu
bendera dengan kelompok yang memiliki -atau dekat dengan- kekuasaan cenderung
mendapat kemudahan dalam mencapai berbagai akses kehidupan, sementara yang lain
tidak demikian. Contoh lain misalnya, seorang Pemimpin yang berasal dari
masyarakat atau kelompok A, tidak jarang kebijakan-kebijakan yang diambil
cenderung mementingkan dan mengedepankan masyarakat atau kelompoknya. Kasus
seperti ini tidak akan sulit untuk kita jumpai dalam kehidupan, bahkan bisa
jadi kasus tersebut sampai kepada level penguasa dalam sebuah Negara. Artinya,
ada beberapa orang yang dimudahkan karena merupakan kolega, ada juga sebagian
orang yang cenderung dipersulit karena hanya anggota masyarakat biasa.
Terlepas dari hal
tersebut, memahami realitas kehidupan berkelompok ternyata cukup banyak sekali
sisi negatif di samping sisi positif yang dapat kita gali. Perlu kita akui,
bahwa kenyataan ini merupakan kenyataan pahit dalam realitas kehidupan
berkelompok. Mereka yang masih kental dengan etnosentrisme maupun partikularisme
tidak mampu mengedepankan prinsip kesetaraan, kemanusiaan, etika, bahkan moral
dalam menjalani kehidupannya. Sementara prinsip kesetaraan ini merupakan aspek
paling penting, apalagi menyadari Negara kita merupakan Negara dengan tingkat
kemajemukan yang tinggi. Celaka jika setiap kelompok atau setiap masyarakat
hanya mementingkan golongannya sendiri, tidak dapat berpegang teguh pada
prinsip kesetaraan, kemanusiaan, bahkan etika dan moral. Perlu kita sadari, bahwa
perbedaan merupakan sebuah kepastian, sementara berdiri di atas perbedaan dengan
prinsip kesetaraan merupakan sebuah keharusan.
Kesetaraan,
kemanusiaan, bahkan etika dan moral ini harus menjadi landasan hidup yang
benar-benar menjadi penopang kita berdiri. Segala sesuatu yang kita praktikan
dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah terlepas dari hal tersebut. Dengan
kesetaraan dan kemanusiaan, keberlangsungan sebuah kehidupan akan tetap berjalan
dengan baik. Dalam Al-Quran Allah berfirman; “Kami menjadikan kamu dari
sebagian laki-laki dan sebagian perempuan, dan menciptakan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal”. Tersirat
sebuah pesan bahwa keberagaman ialah suatu hal yang kodrati. Akan tetapi, meskipun
terdapat perbedaan kita harus tetap menjunjug persatuan dan kesatuan dengan
keharusan saling mengenal, memahami, serta menghormati satu sama lain.
“Sebagai manusia, kemanusiaan ialah hal terpenting yang patut
dimiliki”
Reff:
Kun Maryati & Juju Suryawati. Sosiologi untuk SMA/MA
https://dosensosiologi.com di akses pada tanggal 21 November 2021 (13.50)
Komentar
Posting Komentar