Optimalisasi Peran Karang Taruna; Sinergi Membangun Bangsa yang Penuh Toleransi


(http://www.google.com/search.q)

        Manusia pada dasarnya merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, tentu manusia memiliki perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dapat kita lihat perbedaan paling dasar misalnya dalam ciri fisik seseorang, antara individu yang satu dengan individu yang lain memiliki perbedaan, kemudian dalam hal kehendak, cara pandang maupun keinginan. Artinya, sebagai makhluk individu manusia merupakan makhluk yang otonom dan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya, tetapi tentu dengan penuh tanggung jawab. Hal itu umumnya berdampak pada kehidupan sosial, di mana terjadinya keberagaman akibat dari wujud perbedaan masing-masing individu. Seperti yang kita ketahui, masyarakat indonesia merupakan masyarakat yang unik karena di dalamnya terdapat berbagai macam perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, baik dari segi budaya, bahasa, ras maupun agama, hal ini tidak dapat terlepas dari hakikat manusia sebagai makhluk individu.

        Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, indonesia dijuluki sebagai Negara yang majemuk atau plural. Akan tetapi, meskipun dalam masyarakat indonesia terdapat berbagai macam perbedaan pada akhirnya kita hanya satu, dan hal tersebut telah tercermin dalam semboyan bangsa yang kita kenal dengan “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan inilah yang seharusnya menjadi dorongan untuk kita semua dalam menjaga dan memperkuat persatuan meskipun terdapat berbagai macam perbedaan. Perbedaan harus dijadikan sebagai anugrah atas kekayaan Negara kita, dan tentu harus dijadikan dasar persatuan dalam membentuk Negara yang sejahtera dan tentu negeri yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur.

        Dalam ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut dinamakan dengan diferensiasi sosial.[1] Di mana diferensiasi ini merujuk pada perbedaan-perbedaan dalam masyarakat yang sifatnya sejajar (horizontal), termasuk dalam hal ini adalah ras, budaya bahkan agama. Asumsi dari diferensiasi ini yaitu tidak adanya suatu golongan yang lebih baik atau lebih tinggi dari golongan yang lainnya. Hal ini menegaskan bahwa meskipun kita berbeda secara budaya pada intinya kita setara tidak ada yang perlu dipermasalahkan, menyangkut hal agama sekalipun. Akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian, sering kali terjadi pertentangan antar kelompok yang memiliki perbedaan dan inilah yang harus menjadi perhatian lebih dari berbagai pemangku kebijakan, umumnya dari berbagai elemen masyarakat. Menyadari ragamnya perbedaan dalam masyarakat, tentu harus dilakukan langkah strategis dalam menjaga keutuhan bangsa. Karena jika tidak, hal tersebut akan berpotensi menimbulkan perpecahan atau menciptakan suatu jurang intoleran yang sangat tajam, mengingat dari adanya keberagaman tersebut tentu akan memunculkan perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya. 

        Seperti yang kita ketahui, banyak sekali kasus dari mulai pertikaian antar generasi muda sampai pecahnya perselisihan antar umat beragama. Sering kita mendengar adanya berita di beberapa media tentang munculnya gerakan-gerakan terorisme yang berujung pada tindakan atau usaha sekelompok orang untuk menghancurkan kelompok lainnya. Berdasarkan laporan dari Tirto.id,[2] salah satu kasus intoleransi pada beberapa waktu terakhir ialah adanya pelarangan ibadah bagi umat Kristen di Desa Ngastemi Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto pada tanggal 21 September 2020. Kemudian adanya penolakan yang dilakukan oleh sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol kabupaten Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) pada tanggal 20 september 2020. Terlepas dari kasus tersebut, terkadang sesama golonganpun masih sering terjadinya perselisihan, antara penganut agama islam yang satu dengan penganut agama islam yang lainnya. Padahal agama Islam sejatinya mengakui perbedaan yang ada, sebagaimana dalam Al-Quran bahwa “Tuhan menciptakan manusia dari sebagian laki-laki dan sebagian perempuan, lalu menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal mengenal”. Lantas kenapa masih terdapat perselisihan atas dasar perbedaan? Bukankah jelas bahwasanya perbedaan merupakan suatu hal yang diakui dalam Al-Quran?. Perbedaan dalam penafsiran mengenai ajaran yang mereka yakini kadang menjadi salah satu penyebab dalam perselisihan, seolah-olah dia benar –tanpa menyadari bahwa yang mereka (selain dia) tafsirkan juga menurut dirinya benar- sehingga berusaha menyalahkan bahkan menyingkirkan pemikiran lain selain pemikirannya, dalam kata lain mereka cenderung menuhankan pemikirannya tentang Tuhan (fanatisme). Selain itu, adanya paham ekslusivisme di tiap-tiap kelompok juga menambah penyebab terjadinya perpecahan. Karena pada kenyataannya, paham ini sering memunculkan suatu sikap yang menganggap bahwa kelomponya lebih baik di banding kelompok lainnya, dan tentu hal ini menjadi pemicu awal tidak harmonisnya hubungan antar individu atau kelompok dalam sebuah masyarakat. Pada intinya memang tidak tahu dengan jelas apa yang menjadi penyebab permasalahan itu terjadi. Tetapi hal ini menandakan bahwa tingkat atau jurang intoleransi antarkelompok masih sangat tajam dan perlu menjadi perhatian kita bersama.

        Dari berbagai kasus tersebut, maka perlu adanya perhatian lebih dari semua elemen masyarakat. Selain upaya dari pemerintah salah satunya dengan membentuk FKUB (Forum Kerukunan Umat Bergama), kemudian secara konstitusional Negara menjamin kebebasan dalam berkeyakinan, masyarakat pada umumnya harus lebih terbuka lagi agar bisa berdiskusi dan berdialog dengan masyarakat lain yang berbeda paham, tentu hal itu tidak harus dilakukan dengan saling sikut. Pada dasarnya konflik dalam suatu masyarakat memang sulit untuk dihindari, tetapi terlepas dari kesulitan itu sudah seharusnya kita melakukan upaya agar mampu untuk meminimalisir tingkat konflik yang terjadi dalam sebuah masyarakat.

        Dalam upaya penyelesaian ini, perlu kiranya untuk mengoptimalkan suatu wadah pengembangan generasi muda untuk memutus rantai intoleran dan perpecahan antar individu atau kelompok dalam masyarakat, seperti halnya karang taruna yang berada di wilayah desa/keluarahan yang secara organisasi memiliki fokus berkaitan dengan generasi muda. Karang taruna di wilayah desa/kelurahan yang dapat dikatakan sebagai organisasi akar rumput, harus menjadi wadah pengembangan generasi muda serta menjadi agen dalam membentuk generasi muda yang kreatif, inovatif dan tentu harus menjadi kekuatan dalam membentuk generasi muda yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagaimana salah satu tujuan karang taruna dalam AD/ARTnya yang tertuang di Bab I Pasal 4 dijelaskan bahwa tujuan karang taruna ialah untuk memotivasi generasi muda menjadi perekat persatuan dalam keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Permensos Nomor 25 Tahun 2019).

        Kenapa harus para pemuda? Hal ini dikarenakan bahwa memang generasi mudalah yang akan menjadi tulang punggung bangsa dan penerus estafeta perjuangan suatu bangsa. Kemudian di sisi lain, pemuda memiliki nilai historis yang mana kita harus sama-sama belajar dari sejarah perjuangan para pemuda terdahulu. Bagaimana mereka menjadi pelopor persatuan dan kesatuan dengan membuminya sebuah peristiwa Sumpah Pemuda. Tentu pemuda hari ini harus mampu untuk mengambil semangat kebersatuan para pahlawan terdahulu, karena sudah terbukti jelas bahwa dengan persatuan bangsa ini mampu keluar dari keterpurukan, yaitu sebuah dominasi para penjajah atas bangsa kita yang jelas sangat merugikan dan menyengsarakan. Di samping itu, benar bahwa pada dasarnya ‘pemuda hari ini adalah wajah masa depan bangsa’ (agent of change). Hal ini dapat kita sama-sama perjuangkan dan tentu sama-sama kita wujudkan untuk masa depan bangsa yang lebih baik lagi. Jangan sampai tanpa adanya kepedulian dari berbagai pihak, para generasi muda hari ini menjadi alat berbagai kepentingan sempit suatu golongan sehingga mereka saling sikut, gampang terurai serta dapat dengan mudah dipecah belah. Berdasarkan olahan data dari BPNT, bahwa pelaku tindak pidana terorisme didominasi remaja usia 21-30 tahun yang persentasenya mencapai 47,3 %.[3] Hal ini menandakan generasi muda sangat perlu untuk dididik agar mampu menerima perbedaan dan mampu menjaga persatuan dan kesatuan demi Negara indonesia ke depan. Benar salah satu ungkapan Bung Pram bahwa sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika generasi muda mati rasa, matilah semua bangsa. 

        Para generasi muda merupakan salah satu elemen masyarakat yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian, sikap kritis, toleransi dan kerukunan. Karena harus kita sadari bersama, di era digital seperti sekarang penyeruan untuk menumbuhkan sikap toleran dan penuh perdamaian perlu dilakukan dengan gaya baru. Salah satunya melalui berbagai media sosial yang notabenenya dimiliki oleh kaum muda atau generasi millenial. Dengan membentuk generasi muda yang toleran dan menghargai perbedaan, diharapkan mampu untuk menjaga persatuan dan kerukunan umat beragama sekarang maupun dikemudian hari. Kemudian di era digital ini, bagaimana membangun sikap kritis generasi muda guna mengcounter berbagai informasi yang tidak jelas sumbernya yang kadang menjadi pemicu lahirnya perselisihan. Para generasi muda juga diharapkan mampu untuk memerangi dan mengkampanyekan pesan-pesan yang mengandung nilai persatuan dan perdamaian. Mereka bisa menjembatani lahirnya dialog/musyawarah lintas kepercayaan dengan berbagai bentuk kegiatan, baik melalui gerakan nyata ataupun melalui maya.

        Dalam mengoptimalisasi peran karang taruna ini, perlu sekali sinergitas dari berbagai pihak. Seperti pemerintah pusat, kementrian sosial, kementrian pemuda dan olahraga, pemerintah daerah, KNPI, pemerintah lainnya yang terkait dan masyarakat pada umumnya sebagai akar rumput dalam pengawasan peran fungsi karang taruna. Dengan membentuk generasi muda yang toleran, kiranya kita akan mampu memerangi dan mengatasi perpecahan tersebut bahkan kita bisa memutus intoleransi agar tidak meregenerasikan dirinya. Alangkah baiknya jika setiap golongan tidak lagi mempersoalkan perbedaan yang ada, melainkan mereka mampu untuk saling bekerja sama. Tentu bekerja sama dalam hal tertentu yang diperbolehkan, selagi tidak saling mencampuri keyakinan masing-masing. Karena masih banyak persoalan di dalam Negara kita yang paling krusial atau persoalan yang paling mendasar, di mana ketidak adilan masih menjadi isu yang hangat dan perlu penyelesaian, tangis kelaparan masih kita dengar dengan jelas dan jerit penindasan kaum lemah dengan berbagai kedok masih dapat kita lihat. Persoalan-persoalan seperti itulah yang seharusnya kita perbincangkan, kita dialogkan secara bersama-sama untuk mencari penyelesaian, bukan terus menerus berkutat mempermasalahkan berbagai macam perbedaan yang pada akhirnya berusaha untuk saling meniadakan.

 

..”Perbedaan suatu Kepastian, sedang Pertikaian ialah Pilihan..”



[1] Kun Maryati, Juju Suryawati. 2016. Sosiologi; Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial. PT. Gelora Aksara Pratama. Hlm. 75

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Kesaktian Menjadi Kesakitan

Kampung Pulo; Enam Rumah dalam Satu Pulau

Islam dan Perilaku Sosial