Bansos; Apa dan untuk Siapa? Sebuah kontradiksi antara Ideal dan Real
Bansos; Apa dan untuk Siapa?
Sebuah Kontradiksi antara Ideal dan Real.
Doc: (https://www.google.com/search?q)
Kemiskinan merupakan sebuah penyakit sosial
yang kurang lebih mengjangkit masyarakat di berbagai Negara tak terkecuali di Indonesia sendiri. Bukti dari adanya masalah tersebut
sering di informasikan banyaknya kasus kelaparan dan gizi buruk. Banyak faktor
yang melatar belakangi kemiskinan ini, baik dari aspek sumber daya manusia
maupun dari aspek sumber daya alam. Berbicara masalah sumber daya alam, nampaknya
di indonesia sendiri tidak perlu lagi adanya pembahasan ulang, artinya karena
memang benar bahwa sumber daya alam yang ada di indonesia sangat melimpah.
Tergantung bagaimana caranya kita mengelola dan memanfaatkannya guna mendorong
produktivitas kita sebagai masyarakat. Akan tetapi, kendala yang dihadapi
bangsa indonesia adalah sumber daya manusia. Di mana kualitas SDM yang ada
dapat dikatakan masih rendah, sehingga tidak berdampak signifikan bagi SDA yang
tersedia lebih dari cukup itu. Di samping kedua hal tersebut, tentunya
kebijakan pemerintah turut andil besar dalam ‘pembentuk’ serta pengentasan
masalah kemiskinan ini.
Lebihnya, budaya malas atau karena
memang keterbatasan lapangan pekerjaan yang sulit diakses oleh masyarakat,
semakin memantapkan masyarakat untuk berada pada garis kemiskinan. Hal yang
lainnya lagi sebagai penyebab terbelakangnya masyarakat indonesia –dalam hal
ini ekonomi-, masyarakat indonesia (meskipun tidak semuanya) terlalu mudah mengaitkannya dengan hal yang
berbau teologis. Bisa kita ambil contoh, ketika seseorang diperintahkan untuk
berusaha dan bekerja keras, mereka dengan mudahnya menjawab “jangan terlalu
mengejar dunia, kehidupan kita adalah akhirat”, mungkin sebagian ada yang beranggapan bahwa jawaban tersebut merupakan sebuah candaan. Tetapi hal ini justru menjadi
permasalahan karena lambat laun dikhawatirkan menjadi sebuah dalih akan
kemalasan dirinya untuk bekerja keras di dunia ini. Padahal jelas dalam
referensi Al Quran Q.S Ar-rad: 11 yang pernah penulis dengar bahwa “Allah
tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri”. Dapat kita ambil benang merahnya bahwa Tuhanpun
telah memerintahkan kita untuk berusaha dan bekerja keras demi merubah suatu
keadaan yang tentunya agar menjadi lebih baik lagi.
Berkaitan dengan
masalah tersebut, pemerintah telah berupaya untuk mengatasinya dengan berbagai
kebijakan. Salah satunya dengan diadakannya program PKH (Program Keluarga
Harapan), program ini merupakan sebuah kepedulian konkrit pemerintah terhadap
rakyatnya. PKH sendiri merupakan suatu upaya untuk memberikan bantuan sosial
bersyarat kepada keluarga miskin yang ditetapkan sebagai keluarga penerima
manfaat PKH. Dengan adanya program PKH ini pemerintah mengharapkan agar
masyarakatnya dapat menjangkau berbagai kebutuhannya, baik yang meliputi
kesehatan ataupun pendidikan yang akan berimplikasi bagi peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial. Berdasarkan situs kemensos[1]
yang mengambil data dari BPS tahun 2016, kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret
sebesar 10,86 % dari total penduduk 28,01 juta jiwa, dan pada tahun 2019
pemerintah telah menetapkan target penurunan kemiskinan menjadi 7-8 %. Melalui
upaya ini, berarti jelas dapat kita sama-sama saksikan pemerintah menginginkan
angka kemiskinan masyarakat indonesia dapat tertuntaskan dan kesejahteraan
masyarakat dapat pula terbangun.
Terlepas dari upaya
tersebut, sangat disayangkan karena pada kenyataannya terjadi semacam kontradiksi
antara yang seharusnya terjadi dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Berbicara konsep, mungkin pemerintah dapat dikatakan sudah matang dengan
dibuatnya beberapa kriteria keluarga yang bisa mendapat manfaat program PKH
ini. Padahal terdapat semacam kebobrokan, kalaupun pemerintah sudah melihat
kebobrokan ini, seharusnya pemerintah lebih tegas lagi guna program berjalan
dengan lancar dan tepat sasaran. Salah satu permasalahan yang menjadikan
program ini menjadi polemik dalam masyarakat, yaitu adanya ketidak tepatan
penerima bantuan Program Keluarga Harapan. Hal ini mungkin terjadi di berbagai
daerah khususnya di lingkungan tempat tinggal penulis. Seperti yang penulis
amati, terdapat beberapa penerima bantuan PKH yang justru memiliki fasilitas
rumah megah dengan tinggi 2 lantai, apakah hal tersebut wajar? Tentu wajar, jika
mayoritas masyarakatnya memiliki gedung ‘pencakar langit’. Akan tetapi, sangat
tidak wajar ketika penerima PKH dengan keadaan demikian sedang keluarga yang
tidak menerima memiliki keadaan material sangat prihatin dengan rumah yang
dapat dikatakan tidak layak dan memiliki pendapatan seadanya. Jika dikaitkan
lagi dengan beberapa kriteria penerima bantuan PKH, penerima tersebut secara
komponen kesehatan tidak sedang “ibu hamil/menyusui”, kemudian secara komponen
pendidikan tidak memiliki anak yang masih berada dalam dunia pendidikan baik
SD, SMP/SMA atau lainnya. Lantas siapa yang berhak untuk disalahkan atas
permasalahan tersebut?
Entah karena
memang sistem IT yang tidak mampu menerima ribuan data atau karena memang ada
pihak-pihak yang diuntungkan dari semua kesalahan ini. Bagi penulis sendiri,
keadaan tersebut sangat fatal dan memicu terjadinya konflik sosial dalam
masyarakat. Tetapi lucunya keadaan tersebut justru terus berulang terjadi, dan
nampaknya akan terus meregenerasikan dirinya apabila tidak ada penanganan serta
ketegasan serius baik dari pemerintah maupun dari pihak-pihak terkait. Juga
perlu adanya kesadaran dari masyarakat yang sudah tidak berhak lagi menerima
manfaat program tersebut untuk mengundurkan diri sebagai penerima, guna
meminimalisir atau menghindari kecemburuan sosial dan tentunya bantuan akan
tepat sesuai cita-cita kita bersama.
Tanpa adanya kesadaran baik dari
petugas atau utamanya dari masyarakat penerima PKH, permasalahan tersebut akan
sulit terselesaikan karena pada dasarnya masyarakat/individu cenderung tunduk
pada kebutuhan sehingga menyebabkan terkikisnya rasa kepedulian terhadap
orang-orang yang memang lebih membutuhkan. Benar kata Marx bahwa realitas
materiallah (read; kegiatan ekonomi) sebagai penentu pikiran atau kesadaran. Dalam
hal ini kita bisa mendefiniskan bahwa ekonomi bagaimanapun itu di sisi lain
dapat merubah pikiran atau kesadaran masyarakat. Logikanya semua masyarakat itu
membutuhkan ekonomi. Ketika terjadi kesalahan orang dalam penerima bantuan, si
penerima secara responsif tidak akan menanggapi serius karena mereka semua
membutuhkannya dan tentu tidak akan menolak kemudian dengan penuh kesadaran memberikannya
kepada keluarga yang layak mendapat manfaat program PKH ini. Hal inilah yang
perlu sama-sama dibangun, melalui upaya persuasif berbagai elemen harus
diberikan edukasi kembali guna membangun sebuah kesadaran serta pemahaman
tentang bagaimana seharusnya program PKH ini berlangsung dan kepada siapa
program ini diberikan sesuai dengan kriteria yang tersedia atau paling tidak
yang mendekati kriteria tersebut. Sehingga pada akhirnya masyarakat
bersama-sama saling membahu untuk memutus mata rantai kemiskinan dan mengentaskan
masalah kesenjangan sosial ini, serta bersama-sama pula mewujudkan
kesejahteraan umum sesuai amanat UUD 45.
Komentar
Posting Komentar