Drama Kehidupan


BERMAIN DRAMA DALAM KEHIDUPAN

(Foto: https://www.google.com/search?)

            Manusia merupakan makhluk sosial, dalam hal ini dipastikan manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup sendirian. Mereka pasti selalu terlibat aktif berhubungan dengan manusia lainnya, sehingga terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat. Ketika telah terbentuk suatu masyarakat, maka disana terdapat aturan hidup bersama, saling berhubungan satu sama lain, merasa senasib sepenanggungan dan lain sebagainya. Dalam suatu hubungan, manusia dengan manusia lainnya terdapat suatu peran berbeda-beda yang dimiliki oleh masing-masing individu.
            Adakalanya dalam kehidupan sehari-hari manusia bermain peran layaknya memainkan peran dalam panggung penampilan, karena mereka dituntut untuk mematuhi aturan yang telah disepakati secara bersama baik itu dalam bertindak dan berperilaku maupun dalam hal lainnya. Berbicara masalah peran ialah berbicara pula masalah kedudukan, karena peran dan kedudukan saling terkait. Sebagai contoh, seseorang yang berkedudukan sebagai kepala desa maka diharapkan oleh masyarakat berperan sebagai kepala desa lengkap dengan tugas dan fungsinya. Maka munculah di sana suatu keharusan bagi si kepala desa untuk bermain drama, karena tidak menutup kemungkinan ketika dia berada di rumah dia akan bertindak sebagai dirinya sendiri paling tidak sebagai kepala keluarga yang tergantung sifat dan karakternya. Bisa saja ketika di rumah, si kepala desa sangat kejam terhadap keluarganya, gampang marah dan lain sebagainya, akan tetapi ketika dalam suatu masyarakat ia akan memainkan peran sebaik mungkin (berpenampilan manis, penuh sopan santun) karena dihadapkan dengan penilaian khalayak atau masyarakat umum.
            Dalam sosiologi terdapat salah satu teori yang menjelaskan bahwa kehidupan manusa sangat mirip dengan penampilan teatrikal di atas panggung, yaitu Teori Dramaturgi dari Erving Goffman. Menurut Goffman dalam dunia sosial terdapat dua penampilan yang perlu dibedakan antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).[1] Panggung depan ialah suatu wilayah di mana terdapat audiens atau khalayak yang memperhatikan diri kita, dan itu terkait dengan penilaian serta pemaknaan terhadap penampilan diri kita sendiri. Sedangkan untuk wilayah belakang, ialah suatu wilayah kebalikan dari pada wilayah depan, di mana tidak terdapat audiens atau khalayak yang memperhatikan bahkan menilai diri kita, jadi dapat bertindak dan berperilaku bebas.
            Sebagai contoh kasus kepala desa tadi, dapat kita bedakan antara ketika di masyarakat dengan ketika di rumahnya sendiri. Di masyarakat si kepala desa akan bertindak manis karena terdapat suatu penilaian dari masyarakat, akan tetapi ketika di rumah boleh jadi sebaliknya si kepala desa bisa saja sangat galak terhadap keluarganya karena dia dapat dengan bebas bertindak dan berperilaku tanpa perlu memperhatikan penilaian terhadap dirinya sendiri. Dalam wilayah depan, ada pula yang disebut sebagai setting front atau personal front yaitu yang berkaitan dengan gaya dan penampilan diri kita. Si kepala desa pasti akan memperhatikan kedua hal tersebut, agar masyarakat dengan mudah mengidentifikasi gaya dan penampilannya yang mengarah pada identitas sebagai seorang kepala desa, berpenampilan rapih dan lain sebagainya. Di samping itu, dalam wilayah belakang si aktor pasti akan mempersiapkan segala kelengkapannya untuk tampil diwilayah depan, dalam bahasa Goffman disebut sebagai impression management.
            Pada kasus lain, saya pernah di tanya oleh dosen saya sendiri tentang “di manakah saya menemukan bahwa itu benar-benar diri saya?”. Sayapun menjawabnya bahwa saya merasa diri saya ketika berada di dalam indekost, karena pikir saya dalam suasana indekost itu sangat bebas tidak tertekan dengan aturan-aturan kampus yang mengharuskan saya bertindak dan berperilaku. Dalam diskusi kecil tersebut, kita dapat mengidentifikasi bahwa dalam kampus bisa dikatakan sebagai wilayah depan (front stage) lengkap dengan gaya dan penampilan sebagai seorang mahasiswa, dimana tindakan dan perilaku kita terdapat aturan yang memaksa dan menilanya. Sementara untuk wilayah indekost bisa disebut wilayah belakang (back stage), karena kita bebas untuk bertindak dan berperilaku tanpa memperhatikan segala macam aturan dan penilaian, atau dengan kata lain diri saya tidak sedang memainkan citra diri. Dalam hal ini, dapat kita amini salah satu lagu dari Nike Ardila yang sedikitnya menyinggung bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara.



[1] Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran dalam Sosiologi; Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm 233

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Kesaktian Menjadi Kesakitan

Kampung Pulo; Enam Rumah dalam Satu Pulau

Islam dan Perilaku Sosial